Tsunami dan Tuntasnya Sebuah Dendam-Tsunami, sekarang tidak ada yang asing dengan kata itu. Sebuah peristiwa alam berupa gelombang laut besar yang disebabkan oleh gerakan tiba-tiba di dasar laut. Peristiwa Tsunami aceh dan beberapa daerah lain di Indonesia membuat orang susah.
Aku punya pengalaman kurang menyenangkan dengan kata Tsunami. Saat masih sekolah, ada satu guru yang dikenal cukup killer yang membuatku trauma dengan kata tsunami. Seperti biasa, sebelum pelajaran dimulai, selalu ada sesi tanya jawab. Kelas mendadak hening setiap kali pertanyaan dilontarkan secara acak. Semua anak di kelas merapal doa agar tidak disebut namanya.
Jantung mendadak berdetak kencang ketika namaku disebut. Aku semalam tidak sempat membaca materi untuk hari ini. Bahkan aku lupa sampai halaman berapa materi fisika minggu lalu. Sebuah pertanyaan sederhana diberikan kepadaku,
“Apa itu Tsunami?”
Tanganku berusaha cekatan membuka halaman demi halaman buku fisika yang ada di depanku. Berharap menemukan jawaban yang tepat agar segera terbebas dari sorotan tajam dari balik kaca mata berflame gold itu. Namun, usahaku sia-sia. Ibu guru berambut sebahu tersebut mengulang pertanyaannya dengan nada yang lebih tinggi. Aku mulai panik.
Mengetahui kepanikanku, seorang teman laki-laki di belakangku mencondongkan badannya ke depan. Dia berbisik di dekat telingaku memberitahu jawabannya. Aku menjawab persis seperti yang dibisikkan ke telingaku. Aku lega bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan guru fisika itu. Tapi kelegaanku berubah jadi petaka. Bu guru berwajah tirus tersebut mengetahui adegan dramatis tersebut.
Sejurus kemudian amarahnya meledak. Tentu saja kemarahan itu ditujukan kepadaku. Sebuah kalimat yang diucapkan di depan kelas telah melukai harga diri dan hatiku. Aku tak menyangka akan mendapat cacian yang didengar oleh teman-teman satu kelas.
“Apakah kamu sebodoh itu sehingga harus meminta bantuan teman di belakangmu?”
Belum sempat aku menganggah, cacian lain meluncur dengan mudah dari bibir tipisnya. Aku tertunduk malu karena merasa belum pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya oleh siapa pun. Termasuk oleh orang tuaku sendiri. Tanpa sadar mataku berkaca-kaca. Setelah puas mengomeliku, beliau melanjutkan kuis tanpa beban. Melempar pertanyaan lain kepada temanku yang lain.
Baca juga: 5 Hal Sederhana yang Membuat Bahagia
Sebuah Tekad Balas Dendam
Pelajaran fisika sudah berakhir. Tapi ada yang mengganjal dalam hati. Sebuah tekad untuk balas dendam. Darah mudaku tak bisa menerima diperlakukan demikian. Perasaan malu dan sakit hati mendorongku untuk membuktikan kepada guru tersebut bahwa aku tidak bodoh.
Sejak saat itu aku menekuni fisika. Waktu istirahat aku gunakan untuk ke perpustakaan. Aku mempelajari materi untuk minggu depan. Tak hanya itu, tekadku untuk menaklukkan fisika semakin bulat. Aku berjanji pada diri sendiri bahwa tidak akan ada lagi kejadian serupa yang membuatku malu sekaligus sakit hati.
Hari-hariku tak pernah lepas dari belajar fisika. Aku meluangkan waktu khusus dalam sehari untuk belajar fisika. Aku juga sudah menuntaskan buku paket fisika hingga halaman terakhir. Soal-soal yang belum dipelajari di kelas, aku lahap tanpa sisa. Semakin hari aku mencintai fisika. Sebagai bentuk cintaku kepada fisika, aku menyematkan nama ALFA kepada adik bungsuku yang lahir ketika aku duduk di bangku SMA.
Aku bukan aku yang dulu lagi. Saat pelajaran fisika, aku menegakkan kepala dengan penuh percaya diri. Perlahan tapi pasti aku merebut hati guru fisika yang terkenal cukup jutek itu. Namaku diingat tapi bukan sebagai murid bodoh versi beliau. Tapi murid yang mampu menyelesaikan setiap soal yang ditulis di papan tulis. Soal serumit apa pun aku taklukkan. Bahkan, beliau kaget aku bisa menyelesaikan materi fisika untuk kakak kelasku.
Dendamku tuntas dengan menjadi murid kesayangan beliau sampai kenaikan kelas. Beliau juga yang memintaku tetap masuk jurusan IPA ketika naik kelas 3. Padahal aku memilih jurusan Bahasa. Aku dipanggil ke BK hanya untuk mempertimbangkan kembali keputusanku. Akhirnya aku mengubah pilihanku. Masuk jurusan IPA dan bertemu lagi dengan beliau.
Dendam Positif
Bagi anak usia belasan tahun, mendapat perlakuan tidak menyenangkan sangat mempengaruhi kondisi mentalnya. Begitu juga dengaku saat itu. Mengubah rasa sakit hati menjadi dendam positif tentu saja bukan perkara mudah. Selalu ada pergolakan hati. Namun, aku memilih untuk menuntaskan dendam dengan sebuah pembuktian.
Apakah aku tidak terpuruk? Tetap ada masa terpuruk tapi tidak lama. Ada kalanya merasa tak berharga. Apalagi teman-teman sekelas membully rame-rame sejak kejadian hari itu. Terutama teman-teman cowok. Tapi aku beruntung mendapat pelatihan mental yang luar biasa lewat kegiatan internal sekolah maupun kegiatan yang aku ikuti di luar sekolah. Bergabung dengan OSIS, Teater TAS, dan organisasi pelajar di luar sekolah mampu menguatkan mentalku.
Setiap orang boleh sakit hati dan dendam, tapi dendam positif akan mengantarkan kita pada kepuasan yang tak akan bisa dimengerti oleh orang lain.
Dendam positif akan mengantarkan kita pada kepuasan yang tak akan bisa dimengerti oleh orang lain. Nice quote mbak!
BalasHapus